Jumat, 01 Juni 2012

Nasehat

Bila manusia “lupa” untuk saling menasehati

oleh Ahliyatul Walidah pada 2 Juni 2012 pukul 9:41 ·
“Ih…orang itu kelihatannya aja baik, sempurna. Ternyata…lebih parah dari kita.”

            Sering kata-kata itu terlontar bila kita yang merasa kecewa pada seseorang yang kita kagumi, tapi ternyata juga memiliki borok yang luar biasa.

            Lucu memang, kalau dipikir. Kita seringkali lupa, bahwa orang yang kita idolakan adalah juga manusia, yang pasti sampai kapanpun tak pernah menjadi malaikat, sosok yang tercipta tanpa cacat dari sononya. Makanya, jangan buru-buru mengambil kesimpulan seseorang itu perfect bila belum terlalu kenal, pun sebaliknya, jangan tergesa-gesa membenci bila bertemu orang yang begitu menyebalkan. Tunggulah, bila saatnya tiba nanti, waktu akan menunjukkan yang tersembunyi. Orang yang kita kagumi ternyata tak lebih baik dari diri kita dan orang kebanyakan, sama-sama mengecewakan dan memiliki sisi gelap yang seringkali membuat kita tidak percaya. Sebaliknya, orang yang pada awalnya begitu kita benci, bisa jadi adalah sosok yang pada akhirnya justru membuat kita geleng-geleng berdecak kagum sekaligus sungkan karena pernah merendahkannya.

            Pada dasarnya, manusia diciptakan sepaket dengan hawa nafsu dan akal yang saling berusaha mendominasi satu sama lain. Maka wajar, bila sesekali kita terjatuh begitu dalam. Namun itu bukan alasan kita merasa inferior, terpuruk, dan tak ada harapan untuk memperbaiki diri. Yang paling konyol adalah….bila kita menjadikan pengalaman keterpurukan itu sebagai alasan untuk tidak mengoreksi orang lain yang juga salah jalan.  

            “Aku nggak enak kalo disuruh menasehati orang lain. Soalnya diriku sendiri begitu”. Itu kata-kata yang sering terlontar bila seseorang merasa dirinya begitu banyak dosa, lalu diminta untuk menegur sahabatnya atau orang di sekitarnya yang salah. Kenapa harus sungkan menegur? Sungkan ini sama sekali tidak pada tempatnya, kawan…..

            Why? Ya iyalah….bayangkan saja. Kalau semua orang merasa berdosa sehingga tidak pantas menegur dan menasehati orang lain yang bermaksiat atau salah langkah, lantas siapa yang mengingatkan kita jika kita khilaf? Yakinkah kita bahwa dalam hidup selama ini kita tidak pernah berbuat salah?  Terlalu naif jika anda menjawab ‘iya’.


            Manusia dalam bahasa arab disebut “insan”, dekat sekali dengan kata nisyan, yang artinya lupa. Benar…! Kita adalah makhluk yang sering lupa. Lupa bahwa kita diciptakan untuk menyembah Allah. Lupa bahwa kita akan kembali kepada-Nya. Lupa bahwa kita tak pernah tahu akan dimasukkan ke mana: surga atau neraka. Lupa bahwa timbangan amal kita berperan menentukan nasib kita di akhirat. Lupa bahwa Yang Maha Kuasa berhak mencabut ajal kita kapanpun, entah besok, atau detik ini juga.
                       Nah….dengan segala sifat lupa tersebut, mustahil banget kalo kita tidak pernah berbuat kesalahan dan kekhilafan. Lupakah kita…bahwa Adam dan Hawa terusir dari surga juga karena sifat lupanya: lupa bahwa larangan Allah tidak boleh dilanggar. Lupa bahwa hanya firman Allah lah yang patut didengar, bukan hasutan iblis.

            Menasehati orang lain kadangkala memang beresiko: resiko dibenci dan dianggap resek. Trus….so what?! Apakah hanya karena alasan itu kita mundur. Lagi-lagi kita mungkin lupa bahwa orang yang tidak ingin menasehati orang lain itu adalah orang yang merugi. Kata siapa? Lupa lagi ya….buka doonk surat Q.S. Al-Ashr.
Demi masa
Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
Dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

            Nah lo…lebih baik mana kalo gitu, membiarkan teman salah arah dengan alasan tidak ingin merusak pertemanan, atau menegurnya dengan resiko dibenci. Lebih baik nggak dua-duanya! Ye…enak aja. Teman yang bisanya cuman muji dan bikin senang temannya itu cenderung bukan teman yang baik. Teman macam ini tidak ingin rugi (baca: dibenci) karena membenarkan orang lain. Bagi mereka, diam adalah pilihan terbaik. Kalaupun mereka harus melihat teman sendiri terperosok, toh…itu pilihan mereka, bukan salah saya. Hmm…memiliki teman semacam ini tentun tidak menyenangkan.

            Ada pepatah Arab yang cukup menggelitik. “Temanmu adalah, yang membuat menangis, bukan yang membuatmu tertawa”. Kira-kira begitulah terjemahan bebasnya. Apa maksudnya? Maksudnya, teman yang baik tidak hanya sibuk menyenangkan hati temannya, tapi juga mengingatkannya kala salah langkah, menasehatinya bila sedang khilaf, dan menegurnya kala berbuat dosa, meski taruhannya dibenci.

Sebab mereka yakin bahwa ganjaran Allah itu pasti, bagi orang-orang yang menyayangi saudaranya tulus karena-Nya. Mereka tidak rela saudaranya terpuruk pada kemaksiatan, sebagaimana tidak rela diri mereka terperosok ke lubang yang sama.

Sumber: http://kemuslimahanfusiftum.blogspot.com/2012/04/bila-manusia-lupa-untuk-saling.html
 by Alfa Rahmah El-Banjariyah 

 

Tidak ada komentar:

About

Pengikut